Kamis, 21 Mei 2009

SEBUAH INSPIRASI STRATEGI BISNIS


The Entrepreneurial Trajectory

Banyak calon wirausaha dan wirausaha yang sudah cukup lama bergelut dalam bisnis dan ingin mengembangkan usahanya mengeluhkan kurangnya bekal dalam memahami apa yang saya sebut dengan The Entrepreneurial Trajectory. Yakni inventarisasi terhadap fase-fase strategis berwirausaha dalam kaitannya dengan networking, critical success factor, dan praktek-praktek yang lazim menghambatnya.

Mengenali peluang sudah jamak diketahui sebagai fase awal dari usaha. Fase ini ditandai dengan munculnya ide bisnis yang tidak jarang didapat berkat diskusi dan pertukaran informasi dengan pihak lain yang biasanya masuk dalam jejaring sosialnya. Agar ide ini menjadi berarti biasanya disertai hasrat pribadi yang menjadi bagian dari tujuan hidup, misalnya saja terkait dengan hobi. Jejaring sosial juga berperan besar sebagai motivator. Sebenarnya, hampir setiap orang pernah berada dalam fase ini. Keputusan seseorang untuk terjun dan memilih profesi sebagai seorang wirausaha didorong oleh beberapa kondisi baik personal maupun lingkungan yang kondusif.

Penelitian yang dilakukan oleh Sulasmi (1989) terhadap 22 orang pengusaha wanita di Bandung menunjukkan bahwa sekitar 55% di antaranya memiliki keluarga pengusaha (orang tua, suami, atau saudara pengusaha). Tradisi yang kuat di bidang usaha dari jejaring sosial terdekat ini menjadi confidence modalities. Tension modalities berupa kondisi yang menekan, seperti terkena PHK mengakibatkan tiadanya pilihan lain selain menjadi wirausaha. Kondisi yang terbaik adalah seseorang memang mempersiapkan diri untuk menjadi wirausaha (emotion modalities).

Agar tetap fokus pada peluang, ide-ide bisnis yang ada diinventarisir, disaring mana yang atraktif dan mana yang tidak. Banyak orang dapat menginvestigasi ide bisnis yang sama tetapi akan berbeda dalam melihat peluang yang ada. Terfokus dan berlama-lama pada satu ide saja merupakan kesalahan umum yang dibuat pemula. Interaksi dengan jejaring profesional yang terdiri atas jejaring personal ditambah dengan pihak-pihak yang terkait dengan bisnis memudahkan akses terhadap ketrampilan dan teknologi. Keterampilan teknis dan manajemen penting artinya untuk meningkatkan produktifitas dan penciptaan nilai tambah yang memungkinkan usaha kelas teri mempunyai hasil kelas kakap.

Agar ide bisnis terwujud dibuatlah rencana bisnis. Banyak wirausaha yang mengabaikan fase ini dan kemudian gagal. Dalam fase ini visi dan misi, arah dan tujuan, strategi pengembangan, sumber daya manusia dan sumber daya lain, kapabilitas organisasional, strategi pembiayaan dan visi tentang kesuksesan mendapatkan bentuknya. Sebuah rencana pemasaran misalnya, dapat memberikan semacam perhatian yang dibutuhkan dalam membidik orang, perusahaan, atau hal lainnya secara tepat. Rencana tersebut dapat juga menarik perhatian orang atau pihak lain, termasuk memudahkan akses terhadap dana (investor). Tidaklah mungkin membangun usaha tanpa akses ke permodalan. Untuk disebut feasible atau bankable skema pembiayaan mensyaratkan asas 5C, yang meliputi character (watak calon debitur), capacity (kemampuan), capital (permodalan), condition (kondisi), dan collateral (jaminan). Jika belum bankable, masih ada skema pembiayaan mikro yang lebih longgar syaratnya.

Akses terhadap layanan pengembangan bisnis dapat membantu mengatasi kelemahan utama dari UKM berupa ketidakjelasan pola besar dari usaha. Layanan ini berupa pelatihan, layanan konsultasi, bantuan pemasaran, informasi, pengembangan dan alih teknologi, serta promosi bisnis. Dengan demikian wirausaha mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang diinginkan konsumen pada saat ini dan mendatang, bagaimana perkembangan pola beli mereka, dan bagaimana cara memenuhi kebutuhan mereka. Berbekal informasi pasar yang dimiliki, dengan sumber daya yang dialokasikan sesuai rencana bisnis, pasar dapat dijangkau. Akses pasar dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan Kadin yang telah membentuk PT UKM Indonesia sebagai trading house yang akan membeli produk-produk mitra UKM yang layak jual dan memasarkannya ke mitra usaha yang menjadi jaringannya. Pemerintah juga sudah mengatur agar ritel modern seperti mal, hotel, dan restoran menyediakan 20 persen space-nya bagi UKM sehingga UKM bisa menembus pasar menengah atas. Akses terhadap pasar asing juga telah difasilitasi oleh Pusat Pelayanan dan Pengembangan UKM (SME Center) yang menawarkan kemudahan transaksi dagang antara UKM Indonesia kepada mitra bisnisnya dari negara anggota G-15. Termasuk kemitraan dengan perusahaan multinasional yang mempunyai kepentingan dalam melakukan kegiatan pengembangan masyarakat sekitar (community development). Meskipun demikian dunia tak selalu memberikan respon yang sesuai dengan yang diinginkan wirausaha. Meski itu sebuah produk superior, dunia terkadang tak memberikan tanggapan yang sesuai dengan harapan. Karenanya, dibutuhkan sejumlah uang kontan agar dapat bertahan pada masa-masa seperti itu. Fase ini dapat menjadi acuan untuk evaluasi rencana bisnis yang sudah dibuat dalam fase sebelumnya.

Keputusan untuk mengembangkan usaha dengan strategi pertumbuhan tinggi beserta segala resikonya ataukah lambat asal selamat ditentukan dalam fase ini. Sayangnya sebagian besar wirausaha memilih alternatif kedua yang membuatnya tetap tinggal kelas sebagai UKM. Memang, biasanya jumlah usahawan yang sukses melewati tahap ini relatif sedikit. Jejaring strategis yang melibatkan perusahaan lain dan institusi pendukung dalam kerangka simbiosis mutualisme akan sangat membantu mengembangkan usaha. Secara internal, mengabaikan karyawan adalah kesalahan yang sering dilakukan wirausaha dalam fase ini. Padahal dapat berbuntut pada menurunnya moral, produktivitas kerja, dan keuntungan perusahaan. Dalam jangka panjang, pematangan sistem akan jauh lebih mendukung dibandingkan bertumpu pada figur wirausaha seorang.

Strategi yang berhasil diterapkan dengan baik ditunjang oleh iklim bisnis yang mendukung memungkinkan untuk dapat memimpin pangsa pasar. Memimpin pasar ibarat duduk di kursi panas, yang mengharuskan untuk selalu waspada agar bisa mempertahankan posisi ini. Dalam pasar yang dinamika kompetisinya tinggi, mempertahankan posisi di puncak jauh lebih tinggi daripada saat menggapainya. Banyak pihak akan membidik pemimpin pasar dan berusaha menuju puncak dengan segala cara, termasuk memanfaatkan kelemahan pemimpin pasar. Di sisi yang lain, bisnis yang sudah mapan dan mempunyai peluang yang lebih besar untuk ekspansi. Peluang untuk berekspansi dengan melebarkan sayap usaha harus ditindaklanjuti secara kreatif dan cermat. Diperlukan fleksibilitas dan cepat tanggap terhadap perubahan yang terjadi, baik di lingkup internal maupun eksternal.

Jika segala sesuatunya berjalan lancar, selanjutnya tinggal memetik buah dari pohon yang ditanam, dari value yang dibuat di fase sebelumnya. Hal ini bisa saja dilakukan dengan ‘keluar dari bisnis’ melalui IPO (Initial Public Offering) atau diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar. Memakai kerangka Robert Kiyosaki dalam bukunya Cashflow Quadrant, ’keluar dari bisnis’ ini berarti pindah dari kuadran B (Business owner) ke kuadran I (Investor). Fase panen ini sering terlewatkan dalam konteks kewirausahaan.

*A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Majalah Eksekutif akhir November 2004

Business Disaster Recovery

Sebelum gempa dan tsunami di Aceh, berturut-turut terjadi bencana alam di Alor dan Nabire. Sesudahnya berturut-turut kota-kota besar di Indonesia dihampiri oleh banjir. Terakhir Palu mendapat giliran diguncang gempa. Tiba-tiba kesadaran kita terkuak, bahwa negeri ini benar-benar rawan bencana alam. Dahulu kita merasa kasihan kepada Jepang, karena menganggapnya sebagai negeri gempa. Dan ternyata bencana yang dihadapi negeri ini bukan hanya bencana alam. Banyak pula bencana buatan manusia seperti teror dan kerusuhan.

Musibah ini dapat mengganggu, bahkan menghentikan bisnis secara total. Dan bahkan mungkin tidak bangkit kembali. Musibah banjir yang tidak diantisipasi dengan baik membawa dampak yang signifikan terhadap denyut nadi bisnis. Banyak organisasi yang terganggu aktivitas bisnisnya, mulai yang ‘ringan’ seperti gangguan listrik dan telekomunikasi, sampai lumpuhnya kegiatan karena kantor atau fasilitas produksi yang terendam air. Berarti terjadi gangguan pada proses bisnis ‘normal’ yang menyebabkan anggota organisasi kesulitan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organisasi yang ada, dan dengan demikian dapat dikategorikan sebagai krisis atau bencana.

Kejadian buruk dan musibah yang melanda dunia bisnis dapat mengambil beragam bentuk. Mulai dari bencana alam seperti gempa dan tsunami yang melanda Sumatra Utara dan Aceh serta banjir yang melanda Jakarta dan beberapa kota lainnya, musibah teknologi (kebakaran, kebocoran zat-zat berbahaya) sampai kepada karyawan yang mogok kerja. Segala kejadian buruk dan krisis yang berpotensi menghentikan proses normal bisnis yang telah dan sedang berjalan membutuhkan penanganan yang segera (immediate) dari pihak manajemen dan antisipasi untuk masa selanjutnya.

Di kalangan pelaku bisnis sendiri ada kecenderungan untuk memakai istilah yang lebih ‘cerah’, istilah yang lebih menonjolkan optimisme. Salah satunya adalah pemakaian istilah Business continuity plan yang dinilai lebih komprehensif untuk memastikan tetap bisa ‘making money’ dibandingkan dengan istilah Business Disaster Recovery yang lebih merujuk pada kejadian yang tidak mengenakkan. Padahal esensinya sama, proaktif dalam mengantisipasi resiko, proses yang membantu mempersiapkan bisnis sehingga tetap berfungsi setelah terjadinya bencana, tidak hanya bencana skala besar yang memilukan seperti bencana Tsunami kemarin atau bencana ‘musiman’ berupa banjir di Ibukota dan beberapa kota lainnya. Business Disaster Recovery juga mencakup penanggulangan terhadap interupsi bisnis yang ‘lebih kecil’ seperti tidak dapat berfungsinya suatu piranti lunak akibat terkena virus komputer.

Mengapa harus repot-repot melakukan mempersiapkan Business Disaster Recovery? Bila pembuka artikel ini dirasa belum cukup sebagai alasan, barangkali dapat Anda bayangkan situasi berikut. Jika gedung kantor Anda katakanlah hancur (semoga tidak terjadi), masih dapatkah untuk terus melayani klien dan melanjutkan bisnis? Dalam skala lebih kecil misalnya ada seseorang yang memegang posisi kunci tiba-tiba invalid sehingga tidak bisa melanjutkan pekerjaannya, apakah ada orang lain yang bisa meneruskannya? Sedikit lebih luas, apakah kerusakan akan dianggap sebagai kegagalan pengendalian bisnis yang dapat meruntuhkan reputasi bisnis Anda?

Menghadapi situasi darurat (emergency response), pemulihan dari bencana (disaster recovery), pemulihan bisnis (business recovery), memulai bisnis kembali (business resumption), dan rencana alternatif (contingency plan), dan manajemen krisis (crisis management) merupakan esensi dari Business Disaster Recovery.

Dalam prakteknya Business Disaster Recovery harus mencakup bagaimana karyawan berkomunikasi, kemana mereka harus pergi, dan bagaimana mereka tetap bisa bekerja. Rinciannya dapat bervariasi, tergantung pada ukuran dan skala perusahaan serta bagaimana bisnis dijalankan. Untuk beberapa sektor usaha, supply chain logistic barangkali menjadi isu paling krusial dan menjadi fokus rencana. Sektor usaha lain yang bertumpu pada teknologi informasi barangkali harus berfokus pada system recovery. Prioritas dalam fokus ini tidak berarti bisa mengabaikan bidang lainnya, apalagi antar bidang selalu ada kaitannya sehingga bidang yang difokuskan tidak akan berfungsi tanpa adanya dukungan dari bidang lain.

Meskipun dalam Business Disaster Recovery ada bidang yang difokuskan, tetapi yang tidak bisa dilupakan bahwa urat nadi dari Business Disaster Recovery adalah komunikasi, terutama dalam kaitannya dalam aspek koordinasi. Koordinasi ini berlaku dari awal sampai akhir, dari penentuan skala prioritas, penentuan person in charge (PIC), sampai komunikasi pada karyawan baik sebelum maupun sesudah bencana.

Business Disaster Recovery dimulai dari analisis potensi dampak bencana dengan mengidentifikasi dan mengukur secara sistematis potensi tingkat kerusakan dari tiap scenario bencana. Langkah ini bermanfaat untuk membantu memahami potensial loss yang dapat terjadi baik secara finansial, reputasi, maupun imbas terhadap peraturan yang berlaku.

Dari analisis potensi dampak bencana ini juga akan diketahui kebutuhan bisnis yang diperlukan dan prioritasisasi untuk restorasi serta prediksi atas recovery time. Dengan mengetahui hasil ini selanjutnya dapat disusun strategi bagi recovery bencana. Termasuk di sini menentukan kecenderungan resiko mana yang lebih besar terjadi.

Strategi yang telah disusun bisa diturunkan ke dalam Business Continuity Plan. Kualitas rencana tidak ditentukan oleh kompleksitasnya karena kompleksitas justru sering memicu masalah baru, apalagi jika bencana itu besar skalanya. Karenanya prinsip dasar dari rencana yang berkualitas adalah : mudah dibuat, disesuaikan, dan dieksekusi.

Rencana ini harus dilengkapi dengan emergency response plan (ERP) yang juga meliputi pembentukan sebuah tim yang terdiri dari para anggota dengan tanggungjawab tertentu ketika terjadi situasi darurat (emergency response team), alur tindakan pada situasi darurat (emergency flowchart) dan prosedur evakuasi. Emergency response plan ini harus didukung oleh general emergency procedure (GEP). Prosedur ini harus mudah dimengerti dan dijalankan. Untuk memudahkan penyusunan rencana ini, paling tidak pendekatan formalnya dapat mengacu pada ISO 17799 yang merupakan standar keselamatan internasional.

Business Continuity Plan juga harus selalu diuji, dengan melakukan pengkajian ulang, ditelaah dan direvisi berdasarkan situasi terakhir. Langkah-langkah perlu dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan bisnis, teknologi maupun kemungkinan berubahnya sumber-sumber informasi yang sangat vital bagi usaha pemulihan.

Kekurangan yang sering terjadi dalam implementasi Business Disaster Recovery antara lain kurangnya perencanaan, latihan, dan dukungan dari top level. Latihan diperlukan tidak hanya pasif seperti simulasi di atas kertas atau sekedar role play, karena latihan akan meningkatkan respon dan menghindari terjadinya overlook.

Untuk mendapatkan dukungan pimpinan puncak, perlu diketengahkan resiko berupa potential loss secara finansial. Keputusan akan bertumpu kepada seberapa besarkah resiko mau ditanggung perusahaan dan seberapa banyak yang siap dibelanjakan untuk mitigasi resiko? Ada tarik ulur (trade off) antara biaya dan manfaat yang akan dijangkau. Perusahaan dengan skala lebih kecil cenderung lebih punya banyak opsi dan biaya yang tentu saja lebih murah dalam Business Disaster Recovery dibandingkan perusahaan yang lebih besar. Dalam back up data misalnya, perusahaan skala kecil bisa melakukannya secara lebih sederhana.

Pertanyaan kepada top level di atas juga dapat kita lontarkan kepada diri kita, seberapa besarkah perhatian yang kita berikan terhadap Business Disaster Recovery, setelah menyadari negeri kita ini ternyata rawan bencana?


* A. B Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di majalah EKSEKUTIF akhir januari 2005

INSPIRASI PELUANG USAHA DI BIDANG KULINER DAN IT

CAFE NET

1. Latar Belakang

Teknologi informasi yang berkembang saat ini sangat membantu berbagai pihak dalam penyampaian informasi. Baik itu melalui media audio maupun media visual. Usaha warnet merupakan salah satu usaha yang menyewakan teknologi informasi kepada konsumen di mana konsumen mendapat kepuasan atas pemakaian teknologi informasi tersebut. Warnet banyak dimanfaatkan oleh mahasiswa, pelajar, profesional dan wisatawan asing. Warnet digunakan untuk bermacam-macam tujuan seperti mengerjakan tugas bagi mahasiswa, bersosialisasi dan berkomunikasi (chatting) bagi masyarakat umum, dan juga menjadi sarana menikmati hiburan.

Namun, terkadang kebanyakan warnet hanya mengandalkan kecanggihan teknologi informasi tersebut. Banyaknya pesaing dalam usaha warnet ini, menjadi salah satu ancaman bagi usaha warnet yang baru. Untuk itu, penulis ingin melakukan inovasi terhadap usaha warnet ini, yaitu dengan menggabungkan usaha warnet dengan usaha café. Di mana usaha café ini bergerak di bidang usaha mengolah bahan baku makanan untuk siap saji untuk para konsumen. Dengan penggabungan usaha ini, memungkinkan usaha baru ini dapat memperoleh keuntungan yang optimal.

2. Visi & Misi

Adapun visi dari usaha ini yaitu:

“ Terciptanya Sarana Teknologi Informasi yang Tercepat, Santai, dan Nyaman yang dapat memuaskan para Konsumen”

Adapun misi dari usaha ini yaitu:

1. Menyediakan komputer dengan provider yang bisa cepat mengakses semua informasi yang ada,

2. Menciptakan suasana yang nyaman untuk para konsumen,

3. Menyediakan beraneka makanan dan minuman.

3. Tujuan Pendirian Usaha

Usaha ini membantu para konsumen mendapatkan informasi yang mereka inginkan, dan juga pemenuhan kebutuhan psikologisnya seperti makan dan minum.

4. Analisi SWOT

  • Kekuatan

- Menyediakan provider yang bisa mengakses semua informasi yang ada.

- Tersedianya makanan dan minuman yang dapat dinikmati para konsumen.

- Tingginya minat masyarakat untuk memperoleh informasi, baik itu informasi local maupun informasi interlokal.

  • Kelemahan

- Besarnya dana yang diperlukan untuk memulai usaha tersebut.

  • Peluang

- Masih kurangnya usaha café net, sehingga besarnya peluang untuk memperoleh keuntungan yang banyak.

- Besarnya peluang untuk mengembangkan usaha.


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger